Kamis, 24 September 2015

CIKAL BAKAL DESA PAYOGAN

Cikal Bakal Desa Payogan

IV.1. Sejarah Singkat Ubud.
Sejarah Ubud tidak bisa dilepaskan dengan kisah perjalanan Rsi Markadya, saat perjalanan sucinya membangun Bali secara spiritual, dengan adanya Pura Gunung Lebah di Campuan Ubud dan Pura Pucak Payogan di Payogan. Seperti yang dipaparkan diatas, Mpu Kuturan menyusul dengan menanamkan konsep Tri Murti di Bali, berawal dari Pura Samuan Tiga.

*)Pasar Ubud Tahun 1910. Foto Claire Holt
Belum lagi kekuatan spiritual yang dipancarkan oleh Ida Dhang Hyang Nirarta di sekitar tahun 1489 Masehi pada masa pemerintahan Dalem Baturenggong, dimana Bali mencapai zaman keemasannya. Bahkan beliau (Ida Dhang Hyang Nirarta)kemudian berasrama di Mas Ubud, tepatnya di Pura Taman Pule sekarang.

  *) Pura Taman Pule Mas
Beliau dan para putra mengajarkan faham Siwaistis di Bali. Pancaran spiritual maha tinggi itulah menurut para ahli yang membuat Ubud menjadi sangat bersinar di manca negara. Kakuatan spiritual yang sangat tinggi di Ubud bersaing dengan pantai yang indah, gunung yang megah, air terjun yang memukau, menjadikan Ubud sebuah tempat yang sangat cocok untuk para penekun spiritual di seluruh dunia.Ubud dengan kekuatan spiritual itu mempunyai daya tarik tersendiri bagi para wisatawan domestik maupun mancanegara. Terutama wisatawan Spiritual.


IV.2. Ubud di Abad XVII sampai abad XX.
Menurut beberapa babad dan penelitian bangsa asing, Ubud di Abad XVII masih terdiri dari sawah ladang dan semak belukar, dan hutan. Sebagaian kecil sudah didiami oleh penduduk yang terdiri dari Kuwu-kuwu (Pondokan), mereka mendiami wilayah-wilayah, Jungut, Taman dan Bantuyung. Masih menjadi wilayah kekuasaan dari Kerajaan Sukawati yang berdiri sekitar tahun 1710, dengan raja pertamanya yang bernama Sri Aji Maha Sirikan, Sri Aji Wijaya Tanu.

 *) Puri Ubud Th 1910, Foto Claire Holt.

Pada Saat I Dewa Agung Made menjadi raja di Peliatan, dua adik beliau ditugaskan memegang wilayah, Ida Tjokorda Gde Karang di Padang Tegal Ubud. Ida Tjokorda Tangkeban ditugaskan di Ubud. Banyak pura kemudian berdiri di Ubud dalam masa pemerintahan beliau.
Pada saat Ubud mulai berkembang, dan menjadi daerah Manca, Ida Tjokorda Tangkeban meninggalkan Ubud menuju Jegu, wilayah Tabanan, sedangkan Tjokorda Gde Karang membangun puri di wilayah selatan Ubud, dekat dengan Sukawati, diberi nama Puri Negara di Desa Negara. Jadilah Ubud kemudian tanpa pemimpin. Atas inisiatif dari seorang keturunan Bandesa Mas yang tinggal di Jungut, maka menghadaplah para pemuka masyarakat Ubud ke puri Peliatan, tujuannya adalah untuk nuhur pemimpin untuk Ubud, agar ada yang mengatur kegiatan ekonomi, keagamaan dan kemasyarakatan di Ubud.

 *)Barong Ket di Ubud Th 1930. Foto Claire Holt
Oleh raja Peliatan saat itu, Ida Tjokorda Batuan, diperintahkan Ida Tjokorda Putu Kandel, treh Dalem Sukawati agar memimpin Ubud. Ida Tjokorda Putu Kandel sebagai pemimpin Ubud kemudian mendirikan Puri Saren Kangin Ubud.
Perkiraan angka tahun 1823 sampai dengan tahun 1850, setelah Ida Tjokorda Putu Kandel Wafat, digantikan oleh putranya,  yang bernama Ida Tjokorda Putu Sukawati. Pada masa kepemimpinan beliau, Ubud semakin maju di berbagai bidang.
Dibidang spiritual dan budaya Ubud mulai menggeliat dengan dibuatnya Barong Ket sebagai sesuhunan yang bertujuan sebagai alat pemersatu masyarakat. Kegiatan adat, agama dan yadnya lainnya yang semarak di kawasan Ubud telah mengilhami masyarakatnya sehingga tumbuh dan berkembangnya seni dan budaya dikawasan ini merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan antara agama, adat dan budaya serta kehidupan masyarakatnya sehari-hari.
IV.3. Sejarah Singkat Payogan

IV.3.1. Runtuhnya Mengwi.
Dengan menyerahnya Keraton Mengwi, Mengwi dibawah kekuasaan raja Badung maka diangkatlah Anak Agung Putu Kukus sebagai pejabat penguasa Mengwi, kekuasaan Anak Agung Putu  Kukus meliputi wilayah-wilayah yang ditaklukan Badung setelah mendapatkan pembagian dari sekutunya, antara lain: Tabanan, Ubud, dan Bangli. Banyak rakyat Mengwi yang masih setia kemudian meninggalkan wilayah kekuasaan Anak Agung Putu Kukus, terutama para prajurit Mengwi, meminta perlindungan kepada Raja Tabanan, Ubud dan Bangli. Penduduk-penduduk yang berdiam di wilayah perbatasan Mengwi banyak yang meninggalkan desanya. hal itu mereka lakukan karena ketidakpuasan mereka dengan pemerintahan Anak Agung Putu Kukus yang masih membiarkan sikep-sikep Badung melakukan penjarahan di desa-desa mereka. Pemberontakan-pemberontakan kecil sering terjadi dibeberapa wilayah perbatasan kekuasaan Anak Agung Putu Kukus, sehingga para penduduk yang semula damai menepati daerahnya merasa tidak tenang dan ketakutan memilih untuk meninggalkan desa. Kedua Adipati Agung Kerajaan Mengwi yaitu I Gusti Putu Mayun (Putra dari I Gusti Agung Munggu, treh Arya Kepakisan)  dan I Gusti Made Ngurah dapat menyelamatkan diri dari peperangan yang terjadi di keraton Mengwi sampai wilayah hamparan sawah di daerah Mengwitani. I Gusti Putu Mayun  dan I Gusti Made Ngurah meninggalkan Mengwi melewati Desa Seseh kearah timur untuk seterusnya menuju Kerajaan Karangasem. tujuan Beliau adalah menghadap Raja Karangasem, I Gusti Gde Jelantik untuk melaporkan kehancuran Mengwi. Karena hanya kerajaan Karangasem sajalah yang masih bersimpati terhadap kerajaan Mengwi, disebabkan karena masih ada hubungan tali persaudaraan. Menjelang sore sampailah IGusti Putu Mayun dan I Gusti Made Ngurah dengan beberapa pengiringnya  di sebuah desa. Desa kecil dengan dataran hijau sawah dan ladang yang diapit oleh 2 aliran sungai besar, Sungai Ayung dan Sungai Bangyang. Desa itu dikenal dengan nama desa Gerih(Tegal Lumbung). Bekas desa akuwu yang dulu didirikan oleh I Gusti Ngurah Pangeran Sukahet, setelah pelarian Beliau dari Badung saat kehancuran Puri Tegeh Kori.
Setelah Mengwi diperintah oleh Anak Agung Putu Kukus, Desa Tegal Lumbung sering sekali dijarah oleh laskar Badung, antara lain oleh laskar Padang Sambyan, laskar Peguyangan dan laskar Tegal, sehingga desa Tegal Lumbung yang dulunya tenang dan damai menjadikan mencekam. Karena hari menjelang malam, beristirahatlah I Gusti Putu Mayun dan I Gusti Made Ngurah beserta para pengiringnya di rumah Kyai Bandesa. Setelah menginap beberapa hari di rumah Kyai Bandesa. I Gusti Putu Mayun dan I Gusti Made Ngurah melanjutkan perjalanan menuju keraton Karangasem, diiringi oleh 78 orang pengiring, yang berasal dari keturunan Pasek Gelgel, Keturunan Sangging, Keturunan Pasek Gaduh, Keturunan Pande Tonja (Tohjiwa), Keturunan Ki Majengan, Keturunan Wang Bang Pinatih (Temesi), Keturunan Bandesa Denpasar, keturunan Tangkas Kori Agung,  juga beberapaKeturunan Brahmana Mas.
 
IV.3.2. Menghadap Raja Karangasem.
Tidak diceritakan dalam perjalanan Tanggal 11 April 1893, I Gusti Putu Mayun dan I Gusti Made Ngurah menghadap raja Karangasem I Gusti Gde Jelantik. Saat itu Karangasem sedang diperintah oleh dua orang raja, I Gusti Gde Jelantik dan I Gusti Gde Putu. Rombongan dari mengwi  menghadap raja Karangasem I Gusti Gde Jelantik, saat Beliau sedang menerima tamu Controleur Belanda J.H Liefrinck.Controleur Belanda J.H Liefrinck sedang bertugas mengamati situasi politik di Karangasem dan Gianyar, menurut laporannya Raja Karangasem memperlihat kan sepucuk surat dari Raja Badung menjawab surat darinya yang mempertanyakan mengapa kerajaan Badung menyerang daerah Sibang. Jawabannya bahwa hal tersebut dilakukan atas perintah langsung Dewa Agung di Klungkung.
Mengetahui hal tersebut, I Gusti Putu Mayun dan I Gusti Made Ngurah sangat menyesalkan sikap Dewa Agung di Klungkung yang menyarankan kepada Kerajaan Mengwi untuk berdamai dengan kerajaan Badung. sehingga Kerajaan Mengwi tidak sempat membangun benteng pertahanan untuk mengantisipasi serangan dari sikep Badung. Raja Karangasem I Gusti Gde Jelantik sangat malu karena saat itu Beliaulah yang menjadi utusan Dewa Agung di Klungkung ke Kerajaan Mengwi untuk menyampaikan amanat dari Dewa Agung di Klungkung. Yang ternyata semua itu adalah muslihat untuk menghancurkan Kerajaan Mengwi, dimana menurut Dewa Agung di Klungkung, Raja Mengwi sudah punya keinginan melepaskan diri dari kekuasaan Dewa Agung di Klungkung.

IV.3.3. Menghadap Raja Klungkung.
Setelah tinggal cukup lama di Karangasem, di bawah perlindungan raja Karangasem, I Gusti Gde Jelantik, kembalilah semua rombongan itu kearah barat, berkeinginan untuk menghadap Raja Klungkung  I Dewa Agung, hal tersebut dilakukan atas saran dari Raja Karangasem,
Dengan pertimbangan akan sangat berbahaya kalau kembali ke Mengwi, karena Mengwi sudah dibawah kekuasaan Badung. Tanggal 8 September 1893, rombongan Adipati Agung diterima oleh I Dewa Agung Sasuhunan Bali Lombok di dampingi oleh putra mahkota, I Dewa Agung Gde, beserta adipati Klungkung I Dewa Agung Rai.
Dalam pembicaraan itu disarankan oleh I Dewa Agung, agar I Gusti Made Ngurahmenghadap Raja Ubud, Tjokorda Gde Sukawati, untuk meminta perlindungan, karena dapat dipastikan kerajaan Badung tidak akan mengusik wilayah Ubud, sesuai dengan perjanjian penyerangan terhadap Mengwi dahulu. Jadilah kemudian rombonganI Gusti Made Ngurah berangkat ke Ubud disertai oleh seorang utusan dari I Dewa Agung Klungkung.

IV.3.4. Menghadap Raja Ubud.
Tidak diceritakan dalam perjalanan, tibalah rombongan I Gusti Made Ngurah di keraton Ubud. Diterima langsung oleh Tjokorda Gde Sukawati, juga oleh para bangsawan Mengwi yang sudah lebih dahulu bergabung dengan Kerajaan Ubud, membelot dari pemerintahan Raja Mengwi Tjokorda Gde Agung, antara lain:
·         I Gusti Ngurah Pacung penguasa Carangsari,
·         I Gusti Ngurah Alit Pacung, penguasa Petang, dan
·         I Gusti Ngurah Gde Jelantik, penguasa Angantaka.
Saat itu terjadi eksodus besar-besaran dari Mengwi ke Ubud, kejadian pengungsian besar-besaran rakyat  Mengwi dicatat oleh Controleur Kolonial Belanda di Gianyar, J.C. Van Eerde, pengungsi Mengwi terdiri dari orang tua, dewasa dan anak-anak mencapai angka 6000 orang, yang terjadi dari Tahun 1891 sampai dengan tahun 1896. Diterimalah kemudian kedua Adipati Agung Mengwi, I Gusti Made Ngurah  dan I Gusti Putu Mayun dengan pengiringnya oleh Raja Ubud, diberikan pengampunan dan dianugrahi tempat bermukim di wilayah Ubud perbatasan bagian utara. Yang mana dulunya merupakan wilayah perbatasan kerajaan Payangan, dari wilayah Tjampuan sampai wilayah  Tanggayuda. Adipati Agung Mengwi I Gusti Putu Mayun dianugrahi tempat berpuri di daerah perbatasan Desa Kedewatan dan Tanggayuda, bersama dengan beberapa pengiringnya yang setia. Bergabung dengan para bangsawan Kerajaan Payangan yang mendiami wilayah perbatasan tersebut.
*).Foto ( Tahun 1915 ) Ida Tjokorda Gde Sukawati
Puri Agung Ubud bersama para pengiringnya

Sedangkan Adipati Agung Mengwi, I Gusti Made Ngurah kembali ke Puri Sedang, puri tempat kelahiran ibunya. Di desa Sedang kemudian Beliau diangkat menjadi Manca puri di bulan Agustus tahun 19o7. Pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda, Beliau mendapat jabatan menjadi anggota Read Kertha Badung di akhir tahun 1920. Para Pengiring Adipati Agung, I Gusti Ngurah Made , yang terdiri dari beberapa treh berdiam sementara di puri Sedang. Saat Gianyar menjadi kerajaan di Bawah Kolonial Belanda, Kerajaan Ubud berkembang sangat pesat. Menurut Catatan Controleur Kolonial Belanda yang bernama J.C. Van Eerde, Kerajaan Ubud berkembang dengan pesat, dengan semakin banyaknya desa menjadi wilayah kerajaan Ubud. Sebelum Mengwi jatuh, kerajaan ubud hanya  membawahi 40 desa saja, tetapi pada masapemerintahan Tjokorda Gde Sukawati, desa kekuasaan Kerajaan Ubud berkembang menjadi 130 desa. Beliau Bisa memobilisasi 18.000 rakyatnya dengan baik.
Perkebunan kopi sangat menguntungkan wilayah Ubud saat itu, belum lagi Penguasa Carangsari yang sudah mencaplok wilayah kekuasaan Puri Grana dan kepemilikan puri Mayun di Sangeh dan Blahkiuh, ini berarti penguasa Carangsari mempunyai wilayah cukup luas. Tetapi penambahan wilayah kekuasaannya di wilayah timur laut, secara materi menguntungkan Raja Ubud, karena sebagaian dari keuntungan perdagangan kopi dan candu di Calangsari dihaturkan ke Puri Agung Ubud melalui upeti, seperti yang diterangkan pada catatan peneliti Belanda yang bernama J.H. Liefrinck, tanggal 25 Mei 1893. Menurut Babad Mengwi Lambing, dijelaskan dengan rinci, bagaimana usaha kedua dinasti Mengwi dan Ubud mengikat diri dengan jalan perkawinan besar. Hal itu sebagai sebuah penetapan ikatan antara Puri Agung Ubud dengan Dinasti Mengwi.
*) Foto   ( Tahun 1915 )
Ida Tjokorda Gde Sukawati Puri Agung Ubud
bersama Permaisuri , putra mahkota dan pengawal  kerajaan

Pernikahan Raja Ubud, Ida Ida Tjokorda Gde Sukawati dengan Putri Bangsawan Mengwi yang bernama Gusti Ayu Rai (Agung Ayu Rai), yag merupakan putri ke 3 dari Agung Made Raka Patih, adik dari Adipati Mengwi I Gusti Made Ngurah. Pernikahan itu tidak hanya mengikat golongan puri saja, beberapa pengiring Gusti Ayu Rai (Agung Ayu Rai) yang berasal dari Mengwi, Kapal dan Gerih (Tegallumbung),yang terdiri dari keturunan Pasek Gelgel, keturunan Pande Tonja (Toh Jiwa), Keturunan Wang Bang Pinatih (Temesi), keturunan Tangkas Kori Agung dan Keturunan Bandesa Denpasar, juga mengiringi Beliau ke Ubud. Controleur Badung yang bernama G De Haze Winkelman menulis juga dalam catatan pribadinya, Dalam usaha kedua bangsawan kerajaan Mengwi dan Ubud mengikat diri dengan pernikahan, tercatat ada juga Ida Tjokorda Gde Sukawati menikahi bangsawan Mengwi, putri dari Agung Ngurah Made Agung yang bernama Gusti Ayu Alit Rai (Agung Ayu Alit Rai), Beliau beribu dari puri Sempidi. Bernama Gusti Luh Alit Gadung. Maka semakin eratlah tali persaudaraan antara dinasti Mengwi dan dinasti Ubud.
 
IV.3.5. Raja Ubud, Ida Tjokorda Gde Sukawati Menganugrahkan Tanah Permukiman untuk Pengiring Dari Mengwi, Kapal dan Gerih (Tegallumbung)
Untuk menampung Para Bangsawan Mengwi, Tjokorda Sukawati kemudian membangun sebuah puri baru, diberi nama Puri Kelodan. Beberapa pengiring Agung Ayu Rai yang terdiri dari Golongan Brahmana, berasal dari Giriya Alangkajeng, yang kemudian membangun Giriya baru di Ubud, bernama Giriya Pemaron yang sekarang bernama Giriya Mangesrami yang berada dikawasan Taman. Pada kelanjutannya kemudian berpencar di wilayah Ubud sampai Tegallalang. Para pengiring Gusti Ayu Rai yang berasal dari Mengwi, Kapal, dan Gerih (Tegallumbung)  oleh Raja Ubud, Ida Tjokorda Gde Sukawati dianugrahi pilihan 2 daerah tempat bermukim, di Daerah Kalangan (Antara Tjampuan dengan Lungsiakan) atau Tegal Payogan (Daerah antara Pura Pucak Payogan dengan Lungsiakan),  setelah melalui pertimbangan yang matang, maka dipilihlah Tegal Payogan untuk tempat bermukim, sebuah wilayah di dataran subur, dipenuhi dengan tanaman pohon Klenco yang langka. wilayah perbukitan antaraaliran 2 sungai, Sungai Wos Wadon dan Sungai Sayan, di hulu desa berdiri megah sebuah pura peninggalan Maha Rsi Markandya dulu. Yang dikenal dengan nama pura Pucak Payogan. Desa yang didiami oleh para pendatang dari Mengwi, Kapal, dan Gerih (Tegallumbung) tersebut kemudian diberi nama Desa Payogan. Di hariAnggara Wage Dukut Punama Sasih Sada Saka 1815, atau tanggal Masehi, 30 Mei 1893, para pengiring Agung Ayu Rai ( Gusti Ayu Rai ) yang berasal dari Mengwi, Kapal, dan Gerih (Tegallumbung) yang berjumlah 60 kepala keluarga mulai membuka Daerah Tegal Payogan, Dari Petunjuk Raja Ubud, Ida Tjokorda Gde Sukawati, warga mulai membangun rumah tinggal, menggarap tanah, juga membangun kayangan. Bahu membahu bekerja sama membangun kayangan Desa, diantaranya,Pura Desa dan PusehPura Mlanting, serta Pelinggih Ratu Ngurah Sakti Agung, didirikan di satu lokasi, di Pura Desa dan Puseh. Bentuk Pelinggih, tata letak, dan bahan pelinggih disesuaikan dengan pura pura yang ada di Desa Gerih (Tegallumbung). Meskipun sudah dianugrahi tempat bermukim oleh  Tjokorda Gde Sukawati, dan sudah mempunyai tempat tinggal dan kayangan desa, masih banyak dari mereka belum merasa tenang, karena masih memikirkan rumah dan keluarganya yang masih tertinggal di Gerih (Tegallumbung), secara sembunyi-sembunyi mereka datang lagi ke Gerih, memastikan keberadaan  harta bendanya.
Ternyata masih banyak tanah pekarangan yang kosong. Setelah suasana sedikit aman, di kisaran bulan Agustus 1896, 35 kepala keluarga meninggalkan Ubud, ada yang kembali menetap di Gerih (Tegallumbung) ada juga mendapatkan tempat bermukim di wilayah lain, diantaranya 12 kepala keluarga mengungsi menuju Negara, Sukawati, 2 kepala keluarga tinggal di Susut Marga, Tabanan, dan 2 kepala keluarga tinggal menetap di Semana Abiansemal. Sementara 25 kepala keluarga, menetap di Tegal Payogan.
Dari sekian masyarakat Payogan, pemuka masyarakat  I Sraya dan Pan Pamit yang mempunyai hubungan dekat dengan Puri Agung Ubud, sebagai penyambung lidah Masyarakat Payogan.


*) Denah Desa Pakraman Payogan, Tahun 1893.
(Data Dari Sesepuh Desa Payogan)

(info yang diperoleh dari   Pemuka Masyarakat Payogan). 

IV.3.6. Raja Ubud, Tjokorda Gde Agung Sukawati Menganugrahkan Tanah Kepada Masyarakat Payogan Untuk Membangun Pura Dalem, Mrajapati dan Setra.
Masyarakat Payogan yang terdiri dari 25 kepala keluarga , diantaranya :
·         Keturunan Wang Bang Pinatih, antara lain :  I Kebyeng, I Kudus, Nang Kesir, I Kesul, Nang Tiles, I Tatal,  I Wadih dan I geduh.
·         Keturunan Tangkas Kori Agung, antara lain I Gongsor, Nang Sarwa, Nang Liges, I Sraya, I Wenten, I Sintek,  I Daweg, I Genok, I Tekek, Pan Pamit, Nang Kebyak, I Runi, dan Nang Lecir.
·         Keturunan Pande (Tonja) Tohjiwa, antara lain : I Tinggal,  I Mengkeh, I Buwana.
·         Keturunan Pasek Gelgel, bernama  I Tumtum.
Dari usaha masyarakat baru bisa berdiri Pura Desa, Puseh, Pura Mlanting dan Pelinggih Ratu Ngurah Sakti Agung, yang didirikan dalam satu lokasi di Pura Desa lan Puseh Payogan. Pura-pura yang didirikan, disesuaikan dengan pura-pura yang ada di Gerih (Tegallumbung). Lahan untuk membangun Pura Dalem dan Setra belum ada, Masyarakat Payogan meminta ijin kepada Masyarakat Lungsiakan, untuk bisa mempergunakan setra Lungsiakan bersama-sama.
Dengan ketulusan hati, masyarakat Lungsiakan memberikan ijin tersebut. Jadilah kemudian warga Payogan “Mesetra” di Lungsiakan.  Kira-kira Tahun 1940 Prajuru Payogan menghadap ke Puri Agung Ubud, memohon tanah untuk membangun Pura Dalem, Pura Mrajapati dan Setra. Ida Tjokorda  Gde Agung Sukawati, raja Ubud waktu itu, yang merupakan putra dari Ida Tjokorda Gde Sukawati, menganugrahkan tanah yang terletak disebelah barat Payogan berbatasan dengan Kedewatan. Tahun itu juga masyarakat Payogan membangun Pura Prajapati dan membuat Setra,
tetapi  pelinggih Gedong Dalem dibangun di Pura  Desa Puseh Payogan. Sebagai peringatan dibangunnya Pura Prajapati dan Setra, lahirlah seorang anak laki-laki dari I Wenten, dan kemudian diberikan nama I Kawit, yang artinya ngawit (Mulai) membuat setra dan Pura Prajapati. Dan juga lahir beberapa hari kemudian I Pagehyang artinya Magehang Setra.

*) Foto ( Tahun 1915 ) Ida Tjokorda Gde Agung Sukawati  lan  Ida Tjokorda Istri Muter( Tjokorda Buncing )Keputra antuk Ida Tjokorda Gde Sukawati Puri Agung Ubud.

Karena sudah memiliki setra, Prajuru Payogan kembali menghadap Masyarakat Lungsiakan mohon pamit  Mesetra di Lungsiakan. Dan sekaligus mengucapkan terima kasih atas ketulusan Masyarakat Lungsiakan memberikan warga Payogan “Mesetra” bersama dari tahun 1893 sampai dengan tahun 1940. Setelah rampungnya pembangunan Kayangan Tiga, Gedong Dalem yang semula dibangun di Pura Desa, dipindahkan ke Pura Dalem Payogan, bersanding dengan Pura Prajapati, akhir Tahun 1950. 

*) Foto ( Tahun 1970 ) Ida Tjokorda Gde Agung Sukawati

Selanjutnya masyarakat mulai memikirkan pelaksanaan Piodalan (Karya Agung). Baru pada Tanggal  16 September 1958, Anggara Wage Pahang, Tanggal Ping 3, Sasih Kapat, Saka 1880,masyarakat Payogan melaksanakan upacara Pedudusan Alit di Pura Dalem Payogan. Tanggal 19 Oktober 1966, Buda Wage Mrakih, penanggal Ping 5, Sasih Kalima, Saka 1888, masyarakat Payogan melaksanakan upacara Pedudusan Alit di Pura Desa lan Puseh Payogan, dan waktu itu Puri Agung Ubud sebagai pengrajeg Karya.

Selasa, 05 Mei 2015

Kamis, 30 Oktober 2014

Upacara Pelebon Ibunda I Dewa Ayu Raka (sabtu, 25 oktober 2014)

kajangsari, rangkaian upacara pelebon
ibunda tercinta
menuju setra, tmpt pembakaran jenasah

foto bersama istri & anak2ku 

Jumat, 11 Juli 2014

PEMANGKU & BALIAN

PEMANGKU dan BALIAN


”Pemangku & Balian” sesungguhnya mempunyai makna dan fungsi yang berbeda, dimana dewasa ini di masyarakat pengertian kedua tugas ini menjadi kabur. Masyarakat banyak yang tidak faham perbedaannya sehingga kepada Pemangku datang nunas tamba dan kepada Balian rawuh nunas pemuput (nganteb) suatu upacara. Kekeliruan ini juga bukan sepenuhnya menjadi kesalahan masyarakat karena banyak juga Pemangku yang menggunakan standard ganda artinya nganteb ”ya”, me-tamba(ngusada) ”nggih”. Kekeliruan dilingkungan Pemangku ini kadang juga karena ketidak jelasan pemahaman ”nunasang” dengan ”nambanin”. Dalam lontar Raja Purana Gama serta ketetapan Mahashaba II disebutkan yang tergolong Eka Jati (melalui Pawintenan) disebut ada 12 jenis Pemangku, termasuk disini Pemangku Balian, Pemangku Undagi, dll padahal banyak Balian yang tanpa melalui Pawintenan dan melakukan praktek Ngusada, sehingga maknanya menjadi rancu, itulah sebabnya dalam tulisan ini dipisahkan pengertian Pemangku dan Balian secara fungsionil dan prakteknya, walaupun tidak mudah membedakannya karena ini menyangkut hati nurani, terkait niskala, dan pemahaman masyarakat atau Pemangku dan balian tersebut yang akan tergantung kepada atmanastuti (manah/keneh). 

Berikut disampaikan perbedaan Pemangku dan Balian secara sederhana, menurut lontar Widhisastra kata Pemangku diuraikan menjadi ”PA” bermakna Pastika/pasti, yang artinya paham akan hakekat kesucian diri, dan ”MANG” bermakna wruh ring tata-titining agama (paham mengenai pelaksanaan ajaran agama). ”KU” bermakna kukuh ring Whidi (teguh dan konsisten berpegang kepada Hyang Widhi). Dengan makna diatas, maka kalau dirangkum seorang Pemangku adalah dia yang faham akan hakekat kesucian diri sehingga mampu menjalankan tri kaya parisudha, prema (cinta kasih), menjalankan ajaran bhakti, catur Yoga, dan ajaran lainnya serta mampu merealisasikan ajaran agama kepada fihak lain baik dalam pengertian tattwa, susila, serta upakara dalam bentuk pemuput atau Nganteb suatu upacara sebatas wewenang tugasnya. Sementara itu ”Balian” atau ngewaliang (mengembalikan) melakukan fungsi mengobati (ngusada) dengan kemampuan yang dimiliki untuk kesembuhan orang yang mempercayakan dirinya pada Balian tersebut. Dilingkungan suku Dayak Maratus ada Upacara Adat Balian maksud dari dilaksanakannya upacara tersebut adalah dalam rangka meminta kepada Yang Kuasa agar Desa (kampung) dari komunitas suku Dayak Maratus terhindar dari segala hal yang tidak diinginkan (Pembersihan Kampung). Sehingga difinisi Balian disini adalah orang yang bekerja pada upacara adat Dayak yang bertugas untuk berurusan dengan Dunia Atas dan Dunia Bawah dari para roh manusia yang telah meninggal. Balian juga dapat bertugas memanggil sangiang sebagai juru damai dalam suatu peristiwa yang menjadi topik pada suatu upacara adat, tugas ini seperti yang dilakukan oleh tukang tawur dalam upacara adat tersebut. Dengan beberapa contoh diatas terlihat perbedaan makna ”Pemangku dan Balian”.


Dari sisi proses pendalaman ajaran, Pemangku akan banyak belajar : Puja Stawa, jenis upacara serta upakaranya, dan menjaga kesucian diri seperti yang juga dilakukan oleh Balian, dan semua yang dilakukan Pemangku dan Balian adalah untuk peningkatan kesucian diri. Balian biasanya mempelajari Lontar Usadha, seperti : Lontar Kelima Usada, Kelima Usadi, Usada Sari, Usada Punggung Tiwas, Usada Kuranta Bolong, Usada Cukil Daki, Usada Taru Premana, dan lainnya, jadi pakem belajarnya berbeda. Seorang Balian dan praktisi rohani lainnya jika dalam prakteknya nafsu lebih berkuasa, maka muncullah istilah aliran kiri dan aliran kanan. Aliran kiri ini sering disebut Nge-Leak, walaupun dalam beberapa tulisan pengikut Leak mengatakan, bahwa kegiatan mereka adalah aktifitas rohani sehingga jika ada yang menyimpang itu karena manusianya atau yang tidak faham dengan Leak itu sendiri. Disebutkan, bahwa ada tingkatan-tingkatan pelajaran sama seperti para penganut ke-rohanian lainnya, seperti :Tingkat mengendalikan pernafasan, di bali dan bahasa lontar di sebut MEKEK ANGKIHAN, atau PRANAYAMA. Tingkat "NINGGALIN SANGHYANG MENGET" atau VISUALISASI. Tingkat melindungi diri dengan tingkah laku yang halus serta tanpa emosi dan dendam, di ajaran ini di sebut "PENGRAKSA JIWA. Tingkat kombinasi antara gerak pikiran dengan gerak tubuh, dalam bahasa yoga di sebut MUDRA, karena mudra ini berupa tarian jiwa akhirnya orang yang melihat atau yang nonton di bilang " NENGKLENG ( berdiri dengan kaki satu ). Mudra yang dipelajari persis seperti tarian siwa nata raja. Tingkat MEDITASI, disebut " NGEREGEP, yaitu duduk bersila tangan disilangkan di depan dada sambil mengatur pernafasan sehingga pikiran tenang...atau ngereh, dan ngelekas.Tingkat melepas roh ( MULIH SANGHYANG ATMA RING BAYU SANDA IDEP ) melalui kekuatan pikiran dan batin dalam bahasa sekarang disebut LEVITASI, berada di luar badan. Jadi proses yang dilakukan adalah proses peningkatan rohani. Bagi seorang Pemangku juga Balian umumnya mengenal dasa aksara atau yang umum di jabarkan dengan: SANG, BANG, TANG, ANG, ING, NANG, MANG, SING, WANG, YANG. ilmu ini adalah dasar dari sepuluh prana atau DASA BAYU. dasa aksara ini mempunyai arti memuliakan dewa SIWA, seperti SAGORA, BAMADEWA, TATPURUSHA..dan selanjutnya. Dasa aksara ini murni dibawa oleh aliran SIWA SHIDANTA dan bagian untuk mencapai pencerahan batin melalui aksara tersebut. Dasa aksara lebih banyak akan mengakses kedunia kerohanian bukan KAWISESAN/KANURAGAN...sehingga dasa akasara ini akan mencapai puncaknya apabila seseorang memurnikan batinya melalui dasa yama brata, dan ini murni ilmu kerohanian.

Dengan penjelasan diatas , maka ciri-ciri utama seorang Pemangku dan seorang Balian dapat dibedakan dengan jelas, sehingga seorang Pemangku seharusnya tidak melakukan fungsi Ngusada (mengobati) namun dapat melakukan fungsi ”Nunasang (memohonkan)” jika ada orang yang minta tolong kepada Pemangku, jadi Pemangku tidak berkaitan dengan ”Kawisesan/kanuragan” karena keyakinan seorang Pemangku, bahwa yang sakti itu adalah ”Hyang Widhi”. Seorang Balian mungkin akan mengatakan hal yang sama, bahwa mereka juga memohon kepada Hyang Widhi, bisa jadi benar, namun ketika ada orang yang datang dan minta disembuhkan dan melakukan berbagai upaya untuk kesembuhannya dengan kekuatannya (bukan kekuatan Hyang Widhi), maka itulah kawisesan. Apalagi jika ada yang minta tolong untuk membuat suami takut, atasan jerih, tetangga sakit, dan permintaan dipenuhi oleh balian, maka ini disebut ”me-alih-alihan (mencari rejeki). Perbedaan Pemangku dan balian dalam tulisan ini hanyalah teoritis, definitif, dimana dalam prakteknya tidak mudah bagi Pemangku dan balian tersebut untuk memisahkannya, untuk itu melalui tulisan ini penulis menggugah bagi Pamangku maupun Balian, untuk mendalami makna MAWINTEN yang berasal dari Bahasa Kawi (Jawa Kuno) artinya : mawa = bersinar-sinar; inten = permata; sehingga arti lengkapnya : bersinar-sinar bagaikan permata, yang bertujuan mohon "waranugraha" Hyang Widhi untuk memberikan kesucian bathin kepada kita yang di winten, maka sudah sepantasnya hanya mengabdi pada Hyang Widhi dan yakin, bahwa hanya Hyang Widhi yang sakti. Om Ksama sampurna ya namah swaha.